Jumat, 17 April 2009

AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH:GOLONGAN YANG SELAMAT(al Firqah an-Najiyah)

AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH:GOLONGAN YANG SELAMAT(al Firqah an-Najiyah)وإنَّ هذه الملَّةَ ستفترِ  ق علَى ثَلاَث وسبعين ثنتان وسبعونَ فى النارِ وواحدةٌ فى الجَنة وهي " :r قَالَ ر  سو ُ ل اللهِالجَماعُة" (رواه أبوداود)Maknanya: “…dan sesungguhnya ummat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, 72 diantaranya di neraka dan hanya satu yang di surga yaitu al-Jama’ah”. (H.R. Abu Dawud)Akal adalah syahid (saksi dan bukti) akan kebenaran syara’. Inilah sebenarnyayang dilakukan oleh ulama tauhid atau ulama al-kalam (teologi). Yang merekalakukan adalah taufiq (pemaduan) antara kebenaran syara’ dengan kebenaran akal,mengikuti jejak nabi Ibrahim -seperti dikisahkan al-Quran- ketika membantah rajaNamrud dan kaumnya, di mana beliau menundukkan mereka dengan dalil akal.Fungsi akal dalam agama adalah sebagai saksi bagi kebenaran syara’ bukan sebagaipeletak dasar bagi agama itu sendiri. Berbeda dengan para filosof yang berbicaratentang Allah, malaikat dan banyak hal lainnya yang hanya berdasarkan penalaranakal semata. Mereka menjadikan akal sebagai dasar agama tanpa memandang ajaranyang dibawa para nabi.Tuduhan kaum Musyabbihah; kaum yang sama sekali tidak memfungsikanakal dalam agama, terhadap Ahlussunnah sebagai ’Aqlaniyyun (kaum yang hanyamengutamakan akal) atau sebagai kaum Mu’tazilah atau Afrakh al-Mu’tazilah (anakbibitan kaum Mu’tazilah) dengan alasan karena lebih mengedepankan akal, adalahtuduhan yang salah alamat. Ini tidak ubahnya seperti seperti kata pepatah arab“Qabihul Kalam Silahulliam” (kata-kata yang jelek adalah senjata para pengecut).Secara singkat namun komprehensif, kita ketengahkan bahasan tentangAhlissunnah sebagai al-Firqah an-Najiyah (golongan yang selamat), asal-usulnya,dasar-dasar ajaran dan sistematikanya.PEMBAHASANSejarah mencatat bahwa di kalangan umat Islam dari mulai abad-abadpermulaan (mulai dari masa khalifah sayyidina Ali ibn Abi Thalib) sampai sekarangterdapat banyak firqah (golongan) dalam masalah aqidah yang faham satu denganlainnya sangat berbeda bahkan saling bertentangan. Ini fakta yang tak dapatdibantah. Bahkan dengan tegas dan gamblang Rasulullah telah menjelaskanbahwa umatnya akan pecah menjadi 73 golongan. Semua ini tentunya dengankehendak Allah dengan berbagai hikmah tersendiri, walaupun tidak kita ketahuisecara pasti. Dia-lah yang Maha Mengetahui segala sesuatu.Namun Rasulullah juga telah menjelaskan jalan selamat yang harus kitatempuh agar tidak terjerumus dalam kesesatan. Yaitu dengan mengikuti apa yangdiyakini oleh al-Jama’ah; mayoritas umat Islam. Karena Allah telah menjanjikan kepada Rasul-Nya, Muhammad , bahwa umatnya tidak akan tersesat selamamereka berpegang teguh kepada apa yang disepakati oleh kebanyakan mereka.Allah tidak akan menyatukan mereka dalam kesesatan. Kesesatan akan menimpamereka yang menyempal dan memisahkan diri dari keyakinan mayoritas.Mayoritas umat Muhammad dari dulu sampai sekarang adalah AhlussunnahWal Jama’ah. Mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti merekadalam Ushul al-I’tiqad (dasar-dasar aqidah); yaitu Ushul al-Iman al-Sittah (dasar-dasariman yang enam) yang disabdakan Rasulullah dalam hadits Jibril:"الإيما ُ ن أنْ تؤمن بِاللهِ وملائكَته و ُ كتبه و  ر  سله واليومِ الآخرِ والقَدرِ خيرِه وش  ره" ( رواه البخارِي ومسلم)Maknanya: “Iman adalah engkau mempercayai Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab- kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir serta Qadar (ketentuan Allah); yang baik maupun buruk”.(H.R. al Bukhari dan Muslim)Perihal al-Jama’ah dan pengertiannya sebagai mayoritas umat Muhammadyang tidak lain adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah tersebut dijelaskan olehRasulullah dalam sabdanya :"أوصي ُ كم بِأصحابِي ثمَّ الذين يُلون  هم ثمَّ اّلذين يُلون  هم"، وفيه "عَلي ُ كم بِالجَماعة وإيا ُ كم والُفرقة فإنَّ ال  شيطانَمع الواحد و  هو من الاثْنينِ أبع  د فَمن أراد بحبوحة الجَنةَ فلْيلْزمِ الجَماعة". (رواه الترمذ  ي وقَالَ حسنصحيح وص  ححه الحَاك  م)Maknanya: “Aku berwasiat kepada kalian untuk mengikuti sahabat-sahabatku, kemudian --mengikuti-- orang-orang yang datang setelah mereka, kemudian mengikuti yang datangsetelah mereka“. Dan termasuk rangkaian hadits ini: “Tetaplah bersama al-Jama’ah danjauhi perpecahan karena syaitan akan menyertai orang yang sendiri. Dia (syaitan) dari duaorang akan lebih jauh, maka barang siapa menginginkan tempat lapang di surga hendaklah iaberpegang teguh pada (keyakinan) al-Jama’ah”. (H.R. at-Turmudzi, ia berkata hadits iniHasan Shahih juga hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim).Al-Jama’ah dalam hadits ini tidak boleh diartikan dengan orang yang selalumenjalankan shalat dengan berjama’ah, jama'ah masjid tertentu atau dengan artiulama hadits, karena tidak sesuai dengan konteks pembicaraan hadits ini sendiridan bertentangan dengan hadits-hadits lain. Konteks pembicaraan hadits ini jelasmengisyaratkan bahwa yang dimaksud al-Jama’ah adalah mayoritas umatMuhammad dari sisi kuantitas.Penafsiran ini diperkuat juga oleh hadits yang kita tulis di awal pembahasan.Yaitu hadits riwayat Abu Dawud yang merupakan hadits Shahih Masyhur,diriwayatkan oleh lebih dari 10 orang sahabat. Hadits ini memberi kesaksian akankebenaran mayoritas umat Muhammad bukan kebenaran firqah-firqah yangmenyempal. Jumlah pengikut firqah-firqah yang menyempal ini, dibanding pengikutAhlussunnah Wal Jama’ah sangatlah sedikit.Selanjutnya di kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah dikenal istilah “ulamasalaf”. Mereka adalah orang-orang yang terbaik dari kalangan Ahlusssunnah WalJama’ah yang hidup pada 3 abad pertama hijriyah sebagaimana sabda nabi: "خي  ر الُق  رون قَرنِي ثُ  م الذين يُلون  هم ثُ  م الذين يُلون  هم" (رواه الترمذ  ي)Maknanya: “Sebaik-baik abad adalah abadku kemudian abad setelah mereka kemudian abadsetelah mereka”.(H.R. Tirmidzi)Pada masa ulama salaf ini, di sekitar tahun 260 H, mulai menyebar bid’ahMu’tazilah, Khawarij, Musyabbihah dan lainnya dari kelompok-kelompok yangmembuat faham baru. Kemudian dua imam agung; Abu al-Hasan al-Asy’ari (W. 324H) dan Abu Manshur al-Maturidi (W. 333 H) –semoga Allah meridlai keduanya– datangdengan menjelaskan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diyakini para sahabatnabi dan orang-orang yang mengikuti mereka, dengan mengemukakan dalil-dalilnaqli (nash-nash al-Quran dan Hadits) dan dalil-dalil aqli (argumen rasional) disertaidengan bantahan-bantahan terhadap syubhat-syubhat (sesuatu yang dilontarkanuntuk mengaburkan hal yang sebenarnya) Mu’tazilah, Musyabbihah, Khawarijtersebut di atas dan ahli bid’ah lainnya. Sehingga Ahlussunnah dinisbatkan kepadakeduanya. Mereka; Ahlussunnah Wal Jamaah akhirnya dikenal dengan nama al-Asy’ariyyun (para pengikut imam Abu al-Hasan Asy’ari) dan al-Maturidiyyun (para
pengikut imam Abu Manshur al-Maturidi). Hal ini tidak menafikan bahwa mereka
adalah satu golongan yaitu al-Jama’ah. Karena sebenarnya jalan yang ditempuh oleh
al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam pokok aqidah adalah sama dan satu.
Adapun perbedaan yang terjadi di antara keduanya hanya pada sebagian
masalah-masalah furu’ (cabang) aqidah. Hal tersebut tidak menjadikan keduanya
saling menghujat atau saling menyesatkan, serta tidak menjadikan keduanya lepas
dari ikatan golongan yang selamat (al-Firqah al-Najiyah).
Perbedaan antara al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah ini adalah seperti halnya
perselisihan yang terjadi antara para sahabat nabi, perihal apakah Rasulullah r
melihat Allah pada saat Mi’raj?. Sebagian sahabat, seperti ‘Aisyah dan Ibn Mas’ud
mengatakan bahwa Rasulullah r tidak melihat Tuhannya pada waktu Mi’raj.
Sedangkan Abdullah ibn 'Abbas mengatakan bahwa Rasulullah r melihat Allah
dengan hatinya. Allah memberi kemampuan melihat kepada hati Nabi Muhammad
r sehingga dapat melihat Allah.
Namun demikian al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah ini tetap sepaham dan
sehaluan dalam dasar-dasar aqidah. Al-Hafizh Murtadla az-Zabidi (W. 1205 H)
mengatakan:
إذَا أطْلق أهلُ ال  سنة والجَماعة فاُلمرا  د بِهِم الأشاعرُة والمَاترِيديُة
“Jika dikatakan Ahlussunnah wal Jama’ah, maka yang dimaksud adalah al-Asy’ariyyah dan
al-Maturidiyyah “. (al-Ithaf, juz 2 hlm 6)
Jadi aqidah yang benar dan diyakini oleh para ulama salaf yang shalih adalah
aqidah yang diyakini oleh al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah. Karena sebenarnya
keduanya hanyalah meringkas dan menjelaskan aqidah yang diyakini oleh para nabi
dan rasul serta para sahabat. Aqidah Ahlusssunnah adalah aqidah yang diyakini
oleh ratusan juta umat Islam, mereka adalah para pengikut madzhab Syafi’i, Maliki,Hanafi, serta orang-orang yang utama dari madzhab Hanbali (Fudhala’ al-Hanabilah).
Aqidah ini diajarkan di pesantren-pesantren Ahlussunnah di negara kita, Indonesia.
Dan al-Hamdulillah, aqidah ini juga diyakini oleh ratusan juta kaum muslimin di
seluruh dunia seperti Indonesia, Malaysia, Brunei, India, Pakistan, Mesir (terutama
al-Azhar), negara-negara Syam (Syiria, Yordania, Lebanon dan Palestina), Maroko,
Yaman, Irak, Turki, Daghistan, Checnya, Afghanistan dan masih banyak lagi di
negara-negara lainnya.
Maka wajib bagi kita untuk senantiasa penuh perhatian dan keseriusan dalam
mendalami aqidah al- Firqah al-Najiyah yang merupakan aqidah golongan mayoritas.
Karena ilmu aqidah adalah ilmu yang paling mulia, sebab ia menjelaskan pokok
atau dasar agama. Abu Hanifah menamakan ilmu ini dengan al-Fiqh al-Akbar.
Karenanya, mempelajari ilmu ini harus lebih didahulukan dari mempelajari ilmuilmu
lainnya. Setelah cukup mempelajari ilmu ini baru disusul dengan ilmu-ilmu
yang lain. Inilah metode yang diikuti para sahabat nabi dan ulama rabbaniyyun dari
kalangan salaf maupun khalaf dalam mempelajari agama ini. Tradisi semacam ini
sudah ada dari masa Rasulullah, sebagaimana dikatakan sahabat Ibn 'Umar dan
sahabat Jundub:
"كُنا ونح  ن فتيانٌ حزاوِرةٌ مع ر  سولِ اللهِ صلَّى اللهُ علَيه وسّلم تعّلمنا الإيمانَ ولَم نتعلّمِ القرءَانَ ثُ  م تعلَّمنا
الُقرءَانَ فَا  زددنا بِه إيمانا" (رواه ابن ماجه وصححه الحافظ البوصيرِ  ي)
Maknanya: “Kami -selagi remaja saat mendekati baligh- bersama Rasulullah mempelajari
iman (tauhid) dan belum mepelajari al-Qur’an. Kemudian kami mempelajari al-Qur’an maka
bertambahlah keimanan kami". (H.R. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh al-Hafidz al-
Bushiri).
Ilmu aqidah juga disebut dengan ilmu kalam. Hal tersebut dikarenakan
banyaknya golongan yang mengatas namakan Islam justru menentang aqidah Islam
yang benar dan banyaknya kalam (adu argumentasi) dari setiap golongan untuk
membela aqidah mereka yang sesat.
Tidak semua ilmu kalam itu tercela, sebagaimana dikatakan oleh golongan
Musyabbihah (kelompok yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Akan
tetapi ilmu kalam terbagi menjadi dua bagian: ilmu kalam yang terpuji dan ilmu
kalam yang tercela. Ilmu kalam yang kedua inilah yang menyalahi aqidah Islam
karena sengaja dikarang dan ditekuni oleh golongan-golongan yang sesat seperti
Mu’tazilah, Musyabbihah (golongan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya,
sepeti kaum Wahabiyyah) dan ahli bid’ah lainnya. Adapun ilmu kalam yang terpuji
ialah ilmu kalam yang dipelajari oleh Ahlussunah untuk membantah golongan yang
sesat. Dikatakan terpuji karena pada hakekatnya ilmu kalam Ahlussunnah adalah
taqrir dan penyajian prinsip-prinsip aqidah dalam formatnya yang sistematis dan
argumentatif; dilengkapi dengan dalil-dalil naqli dan aqli.
Dasar-dasar ilmu kalam ini telah ada di kalangan para sahabat. Di antaranya,
sahabat 'Ali ibn Abi Thalib dengan argumentasinya yang kuat dapat mengalahkan
golongan Khawarij, Mu’tazilah juga dapat membantah empat puluh orang yahudi
yang meyakini bahwa Allah adalah jism (benda). Demikian pula sahabat 'Abdullah ibn Abbas, al-Hasan ibn 'Ali ibn Abi Thalib dan 'Abdullah ibn Umar juga
membantah kaum Mu’tazilah. Sementara dari kalangan tabi’in; imam al-Hasan al-
Bashri, imam al-Hasan ibn Muhamad ibn al-Hanafiyyah; cucu sayyidina Ali ibn Abi
Thalib dan khalifah Umar ibn Abdul Aziz juga pernah membantah kaum Mu’tazilah.
Kemudian juga para imam dari empat madzhab; imam Syafi’i, imam Malik, imam
Abu Hanifah, dan imam Ahmad juga menekuni dan menguasai ilmu kalam ini.
Sebagaimana dituturkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi (W 429 H) dalam
kitab Ushul ad-Din, al-Hafizh Abu al-Qasim ibn ‘Asakir (W 571 H) dalam
kitabTabyin Kadzib al Muftari, al-Imam az-Zarkasyi (W 794 H) dalam kitab Tasynif al-
Masami’ dan al 'Allamah al Bayyadli (W 1098 H) dalam kitab Isyarat al-Maram dan
lain-lain.
Allah berfirman:
( (فَاعلَم أنه لاَ إله إلاَّ اللهُ واست غفر لذَنبِك) (مح  مد: 19
Maknanya: “Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) kecuali Allah dan mohonlah ampun atas dosamu". (Q.S. Muhammad :19)
Ayat ini dengan sangat jelas mengisyaratkan keutamaan ilmu ushul atau tauhid.
Yaitu dengan menyebut kalimah tauhid (la ilaha illallah) lebih dahulu dari pada
perintah untuk beristighfar yang merupakan furu’ (cabang) agama.
Ketika Rasulullah r ditanya tentang sebaik-baiknya perbuatan, beliau
menjawab:
"إيمانٌ بِاللهِ ور  سوله" (رواه البخارِ  ي)
Maknanya: “Iman kepada Allah dan rasul-Nya”. (H.R. Bukhari)
Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah r mengkhususkan dirinya sebagai orang
yang paling mengerti dan faham ilmu tauhid, beliau bersabda:
"أنا أعلَ  م ُ كم بِاللهِ وأخشا ُ كم لَه" (رواه البخارِ  ي)
Maknanya: “Akulah yang paling mengerti di antara kalian tentang Allah dan paling takut
kepada-Nya”. (H.R. Bukhari)
Karena itu, sangat banyak ulama yang menulis kitab-kitab khusus mengenai
penjelasan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah ini. Seperti Risalah al-'Aqidah ath-
Thahawiyyah karya al-Imam as-Salafi Abu Ja’far ath-Thahawi (W 321 H), kitab al
‘Aqidah an-Nasafiyyah karangan al Imam ‘Umar an-Nasafi (W 537 H), al-‘Aqidah al-
Mursyidah karangan al-Imam Fakhr ad-Din ibn ‘Asakir (W 630 H), al 'Aqidah ash-
Shalahiyyah yang ditulis oleh al-Imam Muhammad ibn Hibatillah al-Makki (W 599
H); beliau menamakannya Hadaiq al-Fushul wa Jawahir al Uqul, kemudian
menghadiahkan karyanya ini kepada sultan Shalahuddin al-Ayyubi (W 589 H).
Tentang risalah aqidah yang terakhir disebutkan, sultan Shalahuddin sangat tertarik
dengannya hingga beliau memerintahkan untuk diajarkan sampai kepada anakanak
kecil di madrasah-madrasah, yang akhirnya risalah aqidah tersebut dikenal
dengan nama al 'Aqidah ash-Shalahiyyah.
Sulthan Shalahuddin adalah seorang ‘alim yang bermadzhab Syafi’i,
mempunyai perhatian khusus dalam menyebarkan al 'Aqidah as-Sunniyyah. Belia memerintahkan para muadzdzin untuk mengumandangkan al 'Aqidah as-Sunniyyah
di waktu tasbih (sebelum adzan shubuh) pada setiap malam di Mesir, seluruh negara
Syam (Syiria, Yordania, Palestina dan Lebanon), Mekkah, Madinah, dan Yaman
sebagaimana dikemukakan oleh al Hafizh as-Suyuthi (W 911 H) dalam al Wasa-il ila
Musamarah al Awa-il dan lainnya. Sebagaimana banyak terdapat buku-buku yang
telah dikarang dalam menjelaskan al 'Aqidah as-Sunniyyah dan senantiasa penulisan
itu terus berlangsung.
Kita memohon kepada Allah semoga kita meninggal dunia dengan membawa
aqidah Ahlissunah Wal Jamaah yang merupakan aqidah para nabi dan rasul Allah.
Amin. []
KOMENTAR PARA ULAMA TENTANG AQIDAH ASY'ARIYYAH; AQIDAH
AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH
As-Subki dalam Thabaqatnya berkata: "Ketahuilah bahwa Abu al-Hasan al-
Asy'ari tidak membawa ajaran baru atau madzhab baru, beliau hanya menegaskan
kembali madzhab salaf, menghidupkan ajaran-ajaran sahabat Rasulullah. Penisbatan
nama kepadanya karena beliau konsisten dalam berpegang teguh ajaran salaf,
hujjah (argumentasi) yang beliau pakai sebagai landasan kebenaran aqidahnya juga
tidak keluar dari apa yang menjadi hujjah para pendahulunya, karenanya para
pengikutnya kemudian disebut Asy'ariyyah. Abu al-Hasan al-Asy'ari bukanlah
ulama yang pertama kali berbicara tentang Ahlussunnah wal Jama'ah, ulama-ulama
sebelumya juga banyak berbicara tentang Ahlussunnah wal Jama'ah. Beliau hanya
lebih memperkuat ajaran salaf itu dengan argumen-argumen yang kuat. Bukankah
penduduk kota Madinah banyak dinisbatkan kepada Imam Malik, dan pengikutnya
disebut al Maliki. Ini bukan berarti Imam Malik membawa ajaran baru yang sama
sekali tidak ada pada para ulama sebelumnya, melainkan karena Imam Malik
menjelaskan ajaran-ajaran lama dengan penjelasan yang lebih rinci dan sistematis..
demikian juga yang dilakukan oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari".
Habib Abdullah ibn Alawi al-Haddad menegaskan bahwa "kelompok yang
benar adalah kelompok Asy'ariyah yang dinisbatkan kepada Imam Asy'ari.
Aqidahnya juga aqidah para sahabat dan tabi'in, aqidah ahlul haqq dalam setiap
masa dan tempat, aqidahnya juga menjadi aqidah kaum sufi sejati. Hal ini
sebagaimana diceritakan oleh Imam Abul Qasim al-Qusyayri. Dan alhamdulillah
aqidahnya juga menjadi aqidah kami dan saudara-saudara kami dari kalangan
habaib yang dikenal dengan keluarga Abu Alawi, juga aqidah para pendahulu kita.
Kemudian beliau melantunkan satu bait sya'ir:
وكن أشعريا في اعتقادك إنه هو المنهل الصافي عن الزيغ والكفر
"Jadilah pengikut al Asy'ari dalam aqidahmu, karena ajarannya adalah sumber yang
bersih dari kesesatan dan kekufuran".
Ibnu 'Abidin al Hanafi mengatakan dalam Hasyiyah Radd al Muhtar 'ala ad-Durr
al Mukhtar : "Ahlussunnah Wal Jama'ah adalah al Asya'irah dan al Maturidiyyah".
Dalam kitab 'Uqud al Almas al Habib Abdullah Alaydrus al Akbar mengatakan :
"Aqidahku adalah aqidah Asy'ariyyah Hasyimiyyah Syar'iyyah sebagaimana aqidah
para ulama madzhab syafi'i dan Kaum Ahlussunnah Shufiyyah". Bahkan jauh
sebelum mereka ini Al Imam al 'Izz ibn Abd as-Salam mengemukakan bahwa
aqidah al Asy'ariyyah disepakati oleh kalangan pengikut madzhab Syafi'i, madzhab
Maliki, madzhab Hanafi dan orang-orang utama dari madzhab Hanbali (Fudlala al
Hanabilah). Apa yang dikemukakan oleh al 'Izz ibn Abd as-Salam ini disetujui oleh
para ulama di masanya, seperti Abu 'Amr Ibn al Hajib (pimpinan ulama Madzhab
Maliki di masanya), Jamaluddin al Hushayri pimpinan ulama Madzhab Hanafi di
masanya, juga disetujui oleh al Imam at-Taqiyy as-Subki sebagaimana dinukil oleh
putranya Tajuddin as-Subki.
GARIS BESAR AQIDAH ASY'ARIYYAH
Secara garis besar aqidah asy'ari yang juga merupakan aqidah ahlussunnah
wal jama'ah adalah meyakini bahwa Allah ta'ala maha Esa dan tidak ada sekutu
bagi-Nya, Allah bukanlah benda yang bisa digambarkan juga bukan benda yang
berbentuk dan berukuran. Allah tidak serupa dengan sesuatupun dari makhluk-Nya
(laysa kamitslihi syai'). Allah ada dan tidak ada permulaan atau penghabisan bagi
ada-Nya, Allah maha kuasa dan tidak ada yang melemahkan-Nya, serta Ia tidak
diliputi arah. Ia ada sebelum menciptakan tempat tanpa tempat, Iapun ada setelah
menciptakan tempat tanpa tempat. tidak boleh ditanyakan tentangnya kapan,
dimana dan bagaimana ada-Nya. Ia ada tanpa terikat oleh masa dan tempat. Maha
suci Allah dari bentuk (batasan), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar dan
anggota badan yang kecil. Ia tidak diliputi satu arah atau enam arah penjuru. Ia
tidak seperti makhluk-Nya. Allah maha suci dari duduk, bersentuhan, bersemayam,
menyatu dengan makhluk-Nya, berpindah-pindah dan sifat-sifat makhluk lainnya.
Ia tidak terjangkau oleh fikiran dan Ia tidak terbayang dalam ingatan, karena
apapun yang terbayang dalam benakmu maka Allah tidak seperti itu. Ia maha
hidup, maha mengetahui, maha kuasa, maha mendengar dan maha melihat. Ia
berbicara dengan kalam-Nya yang azali sebagaimana sifat-sifat-Nya yang lain juga
azali, karena Allah berbeda dengan semua makhluk-Nya dalam dzat, sifat dan
perbuatan-Nya. Barang siapa menyifati Allah dengan sifat makhluknya sungguh ia
telah kafir.
Allah yang telah menciptakan makhluk dan perbuatan-perbuatan-Nya, Ia juga
yang mengatur rizki dan ajal mereka. Tidak ada yang bisa menolak ketentuan-Nya
dan tidak ada yang bisa menghalangi pemberian-Nya. Ia berbuat dalam kerajaan-
Nya ini apa yang Ia kehendaki. Ia tidak ditanya perihal perbuatan-Nya melainkan
hamba-Nyalah yang akan diminta pertanggungjawaban atas segala perbuatan-Nya.
Apa yang Ia kehendaki pasti terlaksana dan yang tidak Ia kehendaki tidak akan terjadi. Ia disifati dengan kesempurnaan yang pantas bagi-Nya dan Ia maha suci
dari segala bentuk kekurangan.
Nabi Muhammad adalah penutup para nabi dan penghulu para rasul. Ia
diutus Allah ke muka bumi ini untuk semua penduduk bumi, jin maupun manusia.
Ia jujur dalam setiap apa yang disampaikannya. []
Tidak Semua Yang Baru Itu Sesat
Pemberian titik dan syakal pada mushaf itu tidak ada pada masa Rasul dan
Rasul tidak pernah memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk melakukan itu, tapi
sampai saat ini tidak ada yang berani mengatakan itu sesat dan yang sesat masuk
neraka. Demikian juga adzan kedua pada hari jum'at yang dirintis pertama kali oleh
sahabat Utsman ibn Affan karena melihat umat Islam sudah semakin banyak. Pada
masa Rasul, Abu Bakar dan Umar adzan pada hari jum'at hanya dilakukan sekali
ketika khatib naik mimbar, kemudian pada masa Utsman adzan ditambah sebelum
khatib naik mimbar. Adzan yang pertama ditujukan untuk memperingatkan umat
bahwa waktu dzuhur sudah masuk dan bersegera untuk meninggalkan aktifitas
duniawinya dan datang ke masjid. Apakah kemudian Utsman disebut ahli bid'ah?!
Bukankah Rasulullah telah memberikan keleluasan (rukhshah) kepada umatnya
untuk berinovasi dalam hal kebaikan?! dalam haditsnya Rasul bersabda: "Barang
siapa merintis perkara baru yang baik dalam Islam maka ia mendapatkan pahala dari
upayanya serta pahala orang yang menjalankannya" .
Seiring dengan perkembangan zaman tentu kebutuhan umat manusia semakin
banyak lebih banyak dari masa Rasul dan sahabat, tidak ada salahnya kalau kita
memanfaatkan fasilitas-fasilitas teknologi yang telah tercipta itu untuk
mempermudah kepentingan kita beribadah kepada Allah. Karena tidak semua yang
baru itu salah dan menyesatkan. Selamat membaca. []
BID’AH
Bid’ah dalam bahasa berarti sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya.
Dalam pengertian syara’ adalah sesuatu yang baru yang tidak terdapat secara tekstual baik
dalam al Qur’an maupun hadits
Bid’ah terbagi kepada dua bagian, sebagaimana dipahami dari hadits ‘Aisyah -semoga
Allah meridlainya-, ia berkata: Rasulullah bersabda yang maknanya: “Barang siapa berbuat
sesuatu yang baru dalam syariat ini yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak”.
Bagian pertama: Bid’ah Hasanah, juga dinamakan Sunnah Hasanah yaitu sesuatu yang
baru yang sejalan dengan al Qur’an dan Sunnah.
Bagian kedua: Bid’ah Sayyi’ah, juga dinamakan Sunnah Sayyi’ah yaitu sesuatu yang baru
yang menyalahi al Qur’an dan sunnah.
Pembagian bid’ah ini, juga dapat dipahami dari hadits Jarir ibn Abdillah al-Bajali --
semoga Allah meridlainya--, berkata: Bersabda Rasulullah yang maknanya: “Barang siapa
merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari
perbuatan tersebut juga pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) tanpa berkurang
sedikitpun dari pahala mereka, dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah buruk maka baginya
dosa dari perbuatan tersebut juga dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) tanpa
berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (H.R. Muslim).
Contoh bagian pertama: Peringatan maulid nabi di bulan rabi’ul awal. Orang yang
pertama kali mengadakan maulid nabi ini adalah raja al-Mudzaffar penguasa Irbilia (Iraq)
pada abad 7 hijriyah. Pembuatan titik-titik dalam (huruf-huruf) al Qur’an oleh Yahya bin
Ya’mur, salah seorang tabi’i yang agung. Beliau adalah seorang yang alim dan bertaqwa,
perbuatan beliau ini disepakati oleh para ulama dari ahli hadits dan ulama lainnya, mereka
menganggap baik hal ini sekalipun Mushhaf tersebut tidak memakai titik saat Rasulullah
mendiktekannya kepada para penulis wahyunya. Begitu pula Utsman ibn ‘Affan ketika
menyalin mushhaf yang lima atau enam tidak dengan titik-titik (pada huruf–hurufnya), dan
dari saat itulah semua orang Islam hinggga kini selalu memakai titik dalam penulisan hurufhuruf
al Qur’an. Apakah hal ini harus dikatakan bid’ah sesat sebab Rasul tidak pernah
melakukannya?. Jika masalahnya demikian maka hendaklah mereka meninggalkan
mushhaf-mushhaf tersebut dan menghilangkan titik-titiknya hingga seperti pada masa
Utsman. Abu Bakr ibn Abi Dawud, penulis kitab Sunan, dalam karyanya kitab al-mashahif
berkata: orang yang pertama kali membuat titik dalam mushhaf adalah Yahya bin Ya’mur,
salah seorang ulama dari kalangan tabi’in yang mengambil riwayat dari sahabat Abdullah
ibn Umar dan lainya.
Contoh bagian kedua: Hal-hal yang baharu dalam masalah aqidah, seperti bid’ahnya
golongan Mu’tazilah, Khawarij dan mereka yang menyalahi apa yang telah menjadi
keyakinan para sahabat nabi. Contoh lainnya ceperti penulisan shad ( ص) setelah nama nabi
sebagai pengganti Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Padahal para ahli hadits telah menetapkan
dalam kitab-kitab musthalah al-hadits bahwa menuliskan shad ( ص) saja setelah penulisan
nama nabi adalah makruh, namun begitu mereka tidak sampai mengharamkannya. Dengan
demikian dari manakah mereka yang berlebih- lebihan dan membuat kegaduhan
mengatakan bahwa perayaan maulid nabi adalah bid’ah yang diharamkan dan bahwa bershalawat atas nabi setelah adzan adalah bid’ah yang diharamkan, dengan alasan bahwa
Rasulullah dan atau para sahabatnya tidak pernah melakukannya?!.
Hal yang serupa juga merubah nama Allah menjadi “Aah” atau yang sejenisnya yang
banyak dilakukan oleh mereka yang mengaku-aku pengikut tharekat.
Maka dari itu Imam Syafi’i semoga --Allah meridlainya-- berkata: “Hal-hal yang baru
dalam masalah agama ada dua bagian. Pertama, perkara baru yang menyalahi al Qur’an,
sunnah, ijma’ atau atsar, inilah bid’ah yang sesat. Kedua, perkara baru yang baik yang tidak
menyalahi al Qu’an, sunnah, maupun ijma’, inilah perkara yang baru yang tidak tercela”.
Diriwayatkan al Baihaqi dengan sanadnya dalam kitabnya Manaqib as Syafi’i.
Pembagian Bid'ah yang dibagi oleh Imam Syafi'i di atas adalah sebuah kaidah yang
beliau fahami dari nash-nash hadits tentang bid'ah-tentunya beliau lebih faham dari kita tentang
maksud hadits-hadits itu-, sehingga kita tidak terburu-buru mengklaim bahwa semua bid'ah
adalah sesat tanpa meneliti telebih dahulu, apakah ia bertentangan dengan Al-qur'an atau
tidak?!!
BERTAWASSUL DENGAN PARA NABI DAN PARA WALI BUKANLAH SYIRIK
Ketahuilah bahwa tidak ada dalil yang hakiki yang menunjukkan tidak
diperbolehkannya tawassul dengan para nabi dan para wali Allah baik disaat tidak hadirnya
mereka maupun setelah mereka meninggal dengan alasan bahwa hal itu adalah ibadah
kepada selain Allah. Padahal sekedar memanggil orang yang hidup atau yang sudah
meninggal, mengagungkan, meminta pertolongan kepada selain Allah (maksudnya malaikat
atau manusia, bukan berhala atau pohon atau yang sejenisnya), menuju kuburan seorang
wali untuk mencari berkah, meminta sesuatu yang tidak biasanya terjadi di antara manusia
atau mengucapkan kalimat minta tolong kepada selain Allah bukanlah perbuatan syirik.
Karena definisi ibadah menurut ahli bahasa tidak berlaku bagi masalah-masalah di atas,
sebab ibadah secara definitif ialah ketaatan yang disertai dengan ketundukan secara total.
Al-Azhari, salah seorang pakar bahasa terkemuka mengutip perkataan al Farra’ yang
merupakan ahli bahasa paling mashur mengatakan: “Ibadah dalam bahasa Arab ialah
ketaatan yang disertai dengan ketundukan. (lihat Lisan al ‘Arab, para huruf ‘Ain, ba’, dal).
Sebagian ahli bahasa lainnya mengatakan: “Ibadah ialah puncak tertinggi kekhusu’an dan
ketundukan”. Sebagian lainnya mengatakan: “ibadah adalah puncak perendahan diri”.
Pendapat-pendapat inilah yang benar baik secara bahasa maupundalam kenyataanya.
Merendahkan diri saja --tidak sampai puncaknya-- bukan merupakan ibadah kepada selain
Allah, karena bila demikian maka mereka yang merendahkan diri di hadapan para raja dan
pembesar telah menjadi kafir. Padahal ada riwayat yang kuat dalam sebuah hadits bahwa
Mu’adz ibn Jabal saat datang dari Syam sujud di hadapan Rasulullah. Rasulullah bersabda:
“Apa yang engkau lakukan ini!”. Mu’adz menjawab: “Wahai Rasulullah saya melihat
penduduk Syam sujud kepada para batrik (orang yang terpandang) dan uskup (pemuka
agama) mereka padahal engkau lebih utama dari mereka”. Rasulullah bersabda: “Jangan
kamu lakukan ini, bila aku hendak memerintah seorang manusia sujud kepada manusia
lainnya, maka akan aku perintahkan seorang wanita untuk sujud kepada suaminya”. (H.R.
Ibn Hibban, Ibn Majah dan lainnya

Mereka yang mengkafirkan seseorang kerena mengunjungi makam nabi atau lainnya
dari makam para wali Allah untuk mencari berkah tidak mengetahui makna ibadah. Mereka
menyalahi apa yang telah disepakati kaum muslimin masa lampau maupun yang sekarang
di mana mereka hingga kini tetap melakukan ziarah ke makam Rasulullah. Makna ziarah ke
makam Rasulullah untuk mencari berkah bukan berarti Rasulullah menciptakan keberkahan
bagi mereka, tapi maknanya ialah berharap kepada Allah untuk memberikan keberkahan
kepada mereka dengan lantaran berziarah ke makam Rasulullah.
Dalil atas hal ini apa yang diriwayatkan al Baihaqi dengan sanad yang shahih dari Malik
ad Dar yang merupakan juru kunci ‘Umar berkata: “Orang-orang di masa ‘Umar terkena
musibah kekeringan, kemudian seseorang datang ke makam Rasulullah dan berkata: “wahai
Rasulullah mintalah hujan bagi ummatmu karena mereka akan binasa!”. Orang tersebut di datangi
Rasulullah dalam mimpi dan beliau berkata: “sampaikan salamku kepada ‘Umar dan beritakan
bahwa mereka akan diberi hujan, juga katakan kepadanya: hendaklah engkau cerdas”. Ia kemudian
mendatangi ‘Umar dan menceritakan apa yang dialaminya. ‘Umar menangis dan berkata:
“Ya Allah aku tidak lalai kecuali dari apa yang aku tidak kuasa --melakukannya--”. Disebutkan
tentang orang tersebut bahwa ia adalah sahabat Bilal ibn al Harits al Muzani. Sahabat ini
telah mendatangi makam Rasulullah untuk mencari berkah dan ‘Umar tidak
mengingkarinya. Dengan demikian apa yang disebutkan Ibn Taimiyah bahwa ziarah
semacam ini adalah syirik hanyalah kebatilan belaka.
Al Hafizh Waliyyuddin al Iraqi meriwayatkan hadits Abi Hurairah bahwa nabi Musa
berkata: “Ya Allah dekatkanlah (makam) aku dari tanah suci (Bait al Maqdis) dengan satu lemparan
batu”, dan Rasulullah bersabda: “Demi Allah jika aku didekatnya maka akan aku perlihatkan
kepada kalian makamnya ke arah jalan dekat al Katsib al Ahmar”. Hal ini menujukkan keutamaan
mengetahui makam orang-orang saleh untuk menziarahinya dan melaksanakan hakhaknya”.
Al Hafizh ad Dliya’ berkata: meriwayatkan kepadaku Salim at Tall berkata: “ aku tidak
mengetahui tempat yang lebih cepat terkabul untuk berdo’a selain di makam tersebut, dan
bahwa ia dalam mimpi melihat kubah di dekat makamnya, di dalamnya ada seseorang yang
berkulit sawo matang. Ia mengucapkan salam kepadanya sambil berkata: “engkaukah Musa
Kalimullah?, atau: engkaukah Musa Nabi Allah?. Ia menjawab: “benar”. Aku berkata:
“katakanlah sesuatu padaku!”. Kemudian ia memberi isyarat dengan empat jarinya dan
menggambarkan tingginya, aku terbagun dan tidak mengetahui apa yang ia ucapkan. Ketika
Syaikh Dzayyal aku kabari hal ini, ia berkata: “Engkau akan di karuniai empat orang anak
laki-laki”. Aku katakan: “aku telah mengawini seorang perempuan yang belum aku dekati”.
Ia berkata: “bukan perempuan itu!”. Kemudian aku mengawini perempuan lain hingga aku
dikaruniai empat orang anak”.
Dari Ibn ‘Abbas bahwa Rasulullah bersabda yang maknanya: “Sesungguhnya Allah
memiliki para malaikat penjaga (al Hafazhah) di bumi, mereka mencatat daun-daun yang berjatuhan
dari pepohonan, maka bila seorang dari kalian tersesat di padang yang luas hendaklah ia memanggil:
“Tolonglah wahai para hamba Allah !”. H.R. At Thabarani, al Hafidz al Haitsami berkata: “para
perawinya tepercaya”.
Rasulullah bersabda yang maknanya: “hidupku adalah kebaikan bagi kalian dan matiku
adalah kebaikan bagi kalian, kalian membuat satu perkara (dosa) dan dijadikan hal tersebut bagi kalian,
matiku kebaikan bagi kalian, diperlihatkan kepadaku seluruh perbuatan kalian, bila aku melihat dari kebaikan aku memuji Allah (bersyukur) dan bila aku melihat keburukan aku mintakan ampunan bagi
kalian”. H.R. al Bazzar, hadits dengan para perawi shahih.
At Thabarani dalam al Mu’jam al Kabir dan al Mu’jam as Shagir meriwayatkan dari
‘Utsman ibn Hunaif bahwa seorang laki-laki mengadu kepada ‘Utsman ibn ‘Affan, tapi
‘Utsman tidak memperhatikan dan menanyakan kebutuhannya. Orang tersebut kemudian
bertemu dengan ‘Utsman ibn Hunaif dan mengadu kepadanya. ‘Utsman Ibn Hunaif berkata:
“pergilah ke tempat wudlu dan berwudlulah kemudian shalatlah dua raka’at dan katakanlah
dalam doa: “Ya Allah aku memohon kepadaMu dan menghadap kepadaMu dengan nabi
kami Muhammad, nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad aku menghadap denganmu
kepada Tuhanku dalam kebutuhanku agar terkabulkan”, kemudian cepatlah kemari supaya
kita berjalan bersama (menghadap Khalifah Ustman). Orang tersebut pergi dan melakukan
apa yang diperintahkan oleh ‘Utsman ibn Hunaif, kemudian mendatangi pintu ‘Utsman ibn
‘Affan. Tiba-tiba penjaga pintu menarik tangannya dan membawanya kepada ‘Utsman ibn
‘Affan, lalu ‘Utsman mendudukannya di atas karpetnya, ‘Utsman berkata: “apakah yang
engkau perlukan?, lelaki itupun menyebutkan kebutuhannya. Kemudian ‘Utsman
memenuhi segala apa yang ia inginkan dan berkata: “apa yang engkau sebutkan dari
hajatmu aku penuhi saat ini juga”. Lelaki itu kemudian keluar rumah dan bertemu dengan
‘Utsman ibn Hunaif seraya berkata: “semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, ia
(‘Utsman ibn ‘Affan) mungkin tidak akan memperhatikan kebutuhanku dan melihatku
hingga engkau menceritakanku padanya. ‘Utsman ibn Hunaif berkata: “Demi Allah aku
tidak memberitahukan tentangmu kepadanya akan tetapi aku menyaksikan Rasulullah telah
didatangi seorang yang buta dan mengadu kepadanya akan hilangnya penglihatan dia.
Rasulullah bersabda: “jika engkau berkehendak maka bersabarlah atau jika engkau berkehendak aku
doakan engkau”. Ia berkata: “Ya Rasulallah hilangnya penglihatanku sangat menyusahkanku
dan aku tidak memiliki penuntun”. Rasulullah berkata: “datangilah tempat wudlu dan
berwudlulah kemudian shalatlah dua raka’at kemudian bacalah kalimat-kalimat tersebut. Lelaki
tersebut lalu melakukan apa yang diperintahkan Rasulullah dan demi Allah kita belum berpencar dan
majelis kita belum lama hingga orang tersebut sudah kembali masuk dan sudah dapat kembali melihat
seakan ia tidak pernah terkena musibah apapun. At Thabarani dalam Mu’jamnya berkata: “hadits
ini shahih”.
Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa seorang buta bertawassul kepada nabi tidak di
hadapan beliau (di tempat lain), dengan dalil perkataan ‘Utsman ibn Hunaif sendiri: “...
hingga orang tersebut sudah kembali masuk”. Maka hadits ini menyatakan tentang
kebolehan bertawassul dengan nabi baik di masa hidupnya maupun setelah wafatnya. Dan
dengan ini jelas apa yang dinyatakan Ibn Taimiyah bahwa tawassul hanya boleh kepada yang
hidup dan hadir adalah salah. Setiap syarat yang bukan dari kitab Allah adalah batal
sekalipun seratus syarat.
Adapun Tawassulnya ‘Umar dengan al ‘Abbas setelah wafatnya Rasulullah bukan
karena Rasulullah telah meninggal akan tetapi justru untuk menjaga hak kekerabatannya
dari Rasulullah dengan dalil perkataan al ‘Abbas sendiri ketika diminta oleh ‘Umar: “Ya
Allah sesungguhnya kaum ini menghadap denganku kepadaMu karena kekerabatanku dari
nabiMu”. Maka jelaslah tidak benar apa yang dinyatakan oleh Ibn Taimiyah dan para
pengikutnya yang mengingkari tawassul. Atsar ini diriwayatkan oleh az Zubair ibn Bakkar.
Dan mendekati hal ini pula apa yang diriwayatkan al Hakim dalam al Mustadrak
bahwasannya ‘Umar berkhutbah di hadapan manusia seraya berkata: “Wahai manusia
sesungguhnya Rasulullah memperlakukan al ‘Abbas layaknya perlakuan seorang anak bagi orang tuanya, maka ikutilah Rasulullah pada pamannya; al ‘Abbas dan jadikanlah ia wasilah
kepada Allah”. Riwayat ini menerangkan lebih jelas alasan tawassulnya ‘Umar dengan al
‘Abbas.
Maka setelah ini tidak ada lagi tempat bagi pernyataan mereka yang mengingkari
tawassul bahwa hadits di atas dalam sanadnya terdapat Abu Ja’far, di mana ia seorang yang
tidak dikenal (majhul). Yang benar tidak seperti apa yang mereka nyatakan, Abu Ja’far ini
adalah Abu Ja’far al Hathmi seorang yang terpercaya. Begitu pula pernyataan sebagian
mereka, yaitu Nashiruddin al Albani yang mengatakan bahwa maksud pernyataan at
Thabarani bahwa hadits ini shahih adalah dilihat dari kadar awalnya, yaitu perbuatan
seorang laki-laki yang buta di masa hidupnya Rasulullah saja. Hadits ini menurut pendapat
Nashiruddin al Albani tidak bertujuan apa yang dilakukan di masa ‘Utsman ibn ‘Affan,
masa setelah wafatnya Rasulullah. Padahal ulama Mushthalah berkata: “Hadits adalah baik
yang marfu’ kepada nabi maupun yang mauquf kepada sahabat, artinya bahwa perkataan
nabi dinamakan sebuah hadits, begitu pula perkataan sahabat dinamakan hadits. Hadits
tidak terbatas perkataan yang dinisbatkan kepada Rasulullah saja. Nashiruddin dengan
perkataan sesatnya ini tidak sejalan dengan apa yang telah ditetapkan dalam ‘Ilmu
Mushthalah al Hadits. Silahkan lihat dalam kitab Tadrib ar Rawi, al Ifshah dan lainnya dari
kitab-kitab Musthalah.
Adapun hadits Ibn ‘Abbas bahwa nabi bersabda kepadanya: “Jika engkau memohon
maka memohonlah kepada Allah dan jika engkau meminta tolong maka mintalah tolong
kepada Allah”, tidak terdapat dalam hadits ini larangan tawassul dengan para nabi ataupun
para wali Allah. Makna hadits tersebut ialah bahwa yang paling utama untuk dimohon dan
untuk dimintai pertolongan adalah Allah, bukan maknanya janganlah memohon dan
meminta pertolongan kepada selain Allah. Senada dengan hadits ini sabda Rasulullah:
“Janganlah engkau berteman kecuali dengan orang mukmin dan janganlah memakan
makananmu kecuali orang yang bertaqwa”. Hadits ini bukan maknanya tidak boleh
berteman dengan seorang yang kafir atau memberikan makan kepada yang tidak bertakwa
tapi maknanya bahwa yang paling utama untuk ditemani adalah seorang yang mukmin dan
yang paling utama untuk diberi makan adalah orang yang bertakwa. Begitu pula hadits Ibn
‘Abbas di atas maknanya tentang keutamaan bukan tentang keharaman.
Tidak ada perbedaan antara tawassul dan istigatsah. Tawassul juga dinamakan istigatsah
sebagaimana dalam riwayat al Bukhari bahwa nabi bersabda: “sesungguhnya matahari di
hari qiyamat sangat dekat hingga air keringat seseorang sampai setengah telinganya, ketika
manusia dalam keadaan demikian mereka beristighatsah dengan Adam kemudian Musa
kemudian Muhammad”. Dalam hadits ini Rasulullah menamakan permintaan syafa’at dari
nabi Adam bagi mereka sebagai istigatsah.
Kemudian Rasulullah menamakan hujan juga dengan mughits. Abu Dawud dan lainnya
meriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa Rasulullah bersabda yang maknanya: “Ya
Allah siramilah kami dengan hujan yang memberikan pertolongan, menyegarkan, menyuburkan,
memberikan manfa’at dan tidak membahayakan dengan cepat tanpa di akhir-akhir...”, dalam hadits
ini Rasulullah menamakan hujan dengan mughits (yang memberikan pertolongan) karena ia
menyelamatkan dari kekeringan dengan izin Allah. Begitu juga para nabi dan para wali
Allah dapat menyelamatkan dari kesulitan dengan izin Allah ta’ala.[]
MENCARI BERKAH
DENGAN PENINGGALAN-PENINGGALAN NABI
Ketahuilah bahwa para sahabat --semoga Allah meridlai mereka-- mencari berkah
dengan peninggalan-peninggalan nabi baik di masa hidupnya maupun setelah matinya. Dan
semua orang Islam hingga kini masih melakukan hal tersebut. Kebolehan perkara ini
diketahui dari perbuatan nabi sendiri, yaitu ketika beliau mencukur rambutnya pada haji
Wada’ (haji terakhir yang beliau lakukan) dan membagi-bagikan rambut dan potongan
kukunya.
Pembagian rambut ini diriwayatkan oleh al Bukhari dan Muslim dari hadits Anas.
Dalam lafazh riwayat Muslim, Anas berkata: “Saat selesai melempar Jumrah dan memotong
kurbannya, Rasulullah mencukur rambutnya. Beliau mengulurkan bagian kanan rambutnya
kepada pencukur untuk memotongnya, kemudian memanggil Abu Thalhah al Anshari dan
memberikan kepadanya potongan rambut tersebut. Kemudian Rasulullah mengulurkan
bagian kiri rambutnya kepada pencukur, beliau berkata: “Potonglah!”. Lalu memberikannya
kembali kepada Abu Thalhah seraya berkata: “Bagikanlah di antara manusia”.
Dalam riwayat lain: “maka mulai --dipotong-- dari bagian kanan dan membagikan
sehelai dua helai rambut di antara manusia. Kemudian pada bagian kiri, juga dibagibagikan.
Rasulullah berkata kepada Abu Thalhah: “Abu Thalhah kemarilah!”, kemudian
Rasulullah memberikan Potongan rambutnya kepadanya.
Dalam riwayat lainnya: “Rasulullah berkata kepada pencukur: “di sini!”, sambil
memberi isyarat ke bagian kanannya, kemudian beliau membagikan kepada orang-orang
yang berada di dekatnya. Lalu memberi isyarat kembali kepada pencukur ke bagian kirinya,
setelah dicukur potongannya diberikan kepada Ummu Sulaim. Pada hadits ini penjelasan
bahwa sebagian rambut, Rasulullah sendiri yang membagikan di antara orang-orang yang
dekat dengannya dan sebagian lainnya diberikan kepada Abu Thalhah untuk dibagikan
kepada semua orang dan sebagian lainnya beliau berikan kepada Abu Thalhah. Dalam
hadits ini penjelasan tentang mencari berkah dengan peninggalan-peninggalan nabi. Nabi
membagi-bagikan rambutnya agar mereka mengambil berkah dengannya dan mencari
syafaat serta taqarrub kepada Allah dengan sesuatu dari diri beliau. Beliau membagikanbagikannya
agar menjadi berkah yang langgeng dan sebagai kenang-kenangan bagi mereka.
Dari sinilah kemudian orang-orang yang dimuliakan Allah dalam kehidupan mereka mengikuti apa yang dilakukan para sahabat dalam mencari berkah dengan peninggalanpeninggalan
Rasulullah. Dimana hal ini kemudian menjadi tradisi yang diwarisi kaum khalaf dari kaum salaf.
Adapun peristiwa pembagian potongan kuku, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya bahwa nabi memotong kuku-kukunya dan membagikannya di antara manusia.
Adapun tentang jubahnya nabi, diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya dari budak yang dimerdekakan Asma’ binti Abi Bakr, berkata: “ia (Asma Binti Abi Bakr) mengeluarkan jubah --dengan motif-- thayalisi dan kasrawani (semacam jubah kaisar) berkerah sutera yang kedua lubangnya tertutup. Ia (Asma’) berkata: ini adalah jubah
Rasulullah, semula berada di ‘Aisyah, ketika ia wafat aku mengambilnya. Dahulu ini dipakai
Rasulullah, kita mencucinya yang air cuciannya kita jadikan obat bagi orang-orang yang
sakit”. Dalam riwayat lain: “kita mencucinya bagi orang yang sakit di antara kita”.
Dan dari Hanzhalah bin Hadzyam berkata: “aku mengikuti rombongan bersama
kakekku; Hadzyam menuju Rasulullah, ia (Hadzyam) berkata: “Ya Rasulallah sesungguhnya
aku memiliki beberapa anak laki-laki yang sudah besar dan ini yang paling kecil di antara
mereka. Kemudian mendekatkanku kepada Rasulullah, lalu ia mengusap kepalaku seraya
berkata: “Allah memberkatimu”. Ad Dzayyal berkata: “Aku melihat hanzhalah didatangi
orang yang bengkak wajahnya atau orang yang membawa kambing yang bengkak susunya,
ia (Hanzhalah) berkata: “dengan nama Allah atas tempat usapan telapak tangan Rasulullah”,
kemudian ia mengusapnya hingga hilanglah bengkaknya.
Demikian diriwayatkan at Thabarani dalam al Mu’jam al Ausath dan al Mu’jam al Kabir
juga diriwayatkan Ahmad dalam hadits yang panjang yang semua para perawinya
terpercaya.
Dan dari Tsabit berkata: “apabila aku mendatangi Anas (ibn Malik), ia (Anas) --selalu--
diberi tahu tentang tempatku, maka aku masuk kepadanya dan meraih kedua tangannya
untuk aku cium, aku berkata: “Demi Ayahku kedua tangan inilah yang telah meraih
Rasulullah”, kemudian juga aku cium kedua matanya, aku berkata: “Demi ayahku kedua
mata inilah yang telah melihat Rasulullah”. diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan para
perawinya shahih selain ‘Abdullah ibn Abu Bakr al Muqdami yang terpercaya (tsiqah).
Dan dari Dawud ibn Abi Shalih berkata: “suatu hari Marwan datang dan mendapati
seseorang yang meletakkan wajahnya di atas makam --Rasulullah--. Marwan berkata:
“sadarkah apa yang engkau lakukan?”. Ketika mendekat ternyata ia adalah sahabat Abu
Ayyub al Anshari. Abu Ayyub berkata: “ya, aku mendatangi Rasulullah, bukan mendatangi
batu, aku mendengar Rasulullah bersabda: “janganlah kalian menangisi agama jika dipimpin
oleh ahlinya, tapi tangisilah ia bila dipimpin oleh yang bukan ahlinya”. Diriwayatkan oleh
Ahmad dan At Thabarani dalam al Kabir dan al Ausath.
Maka setelah ini tidak terdapat lagi anggapan bagi mereka yang mengingkari tawassul
dan tabarruk (mencari berkah) dengan peninggalan-peninggalan nabi yang mulia. Al Baihaqi
dan lainnya meriwayatkan dengan sanad bahwa sahabat Khalid bin al Walid pada
peperangan Yarmuk kehilangan pecinya, ia berkata --kepada prajuritnya--: “carilah!”, namun
mereka tidak menemukannya. Setelah dicari kembali akhirnya mereka menemukannya dan
ternyata sebuah peci yang sudah lusuh. Khalid berkata: “ketika Rasulullah umrah dan
memotong rambutnya, banyak orang berebut mengambil bagian pinggir rambutnya. Namun
aku mendahului mereka untuk meraih --rambut— dari ubun-ubunnya dan aku letakkan di
peci ini hingga tidak ada satu peperanganpun yang aku ikuti kecuali aku meraih
kemenangan bersamanya”.[]

0 komentar:

Posting Komentar